Konsep dan Fungsi Kritik Seni Rupa
A. Konsep dan Karakteristik Kritik SeniDalam belajar seni rupa sebenarnya terdapat empat aspek yang harus dipahami secara integratif yaitu: berkarya seni, sejarah seni, kritik seni, estetika (Aland dan Derby, 1991). Setiap aspek akan membantu seseorang untuk
memahami dan menikmati karya seni dengan jalan yang berbeda. Meskipun pada
dasarnya bisa dipahami secara terpisah, tapi akan menjadi lebih efektif jika pemahaman karya seni harus mengintegrasikan dengan lainnya. Belajar
kritik seni akan menjadi lebih paham apabila
sudah mengetahui proses berkarya, sejarah, dan estetika.
Istilah kritik sebenarnya berasal dari
bahasa Inggris yaitu critic: pengecam,
pengupas, dan pembahas. Bahasa Yunani dari kata
kritikos yang erat hubungannya
dengan krinein yang berarti memisahkan, mengamati, menilai,
dan menghakimi
(Bangun, 2005). Namun demikian, dalam
konteks perkembangan di dunia empirik banyak para tokoh yang kemudian membatasi
istilah kritik berdasarkan keyakinan masing-masing. Penyebabnya adalah
eksistensi kritik seni kadang masih menjadi perdebatan.
Secara sederhana,
kritik seni adalah sebuah aktivitas menelaah kualitas karya seni yang dapat
diungkapakan melalui tulisan atau lisan melalui tahapan-tahapan sistematis,
terukur, dan ilmiah. Tahapan yang harus
dilakukan dalam proses menelaah tersebut adalah deskripsi, analisis
formal, interpretasi dan evaluasi.
Kajian atau telaah
kualitas karya seni melalui tahapan ilmiah tersebut akan menghantarkan
seseorang memperoleh sebuah pengalaman
estetik atau kenikmatan seni. Pengalaman estetik yang didapatkan tersebut
berdasarkan hasil tahapan final proses
kritik, yaitu judgement
atau penghakiman. Namun demikian, seseorang yang
dapat melakukan kritik adalah orang yang memiliki kreativitas dan kepekaan dalam menelusuri kualitas melalui
pendeskripsian, pengkorelasian atau pengkaitan antar fakta objektif pada subjek
karya secara selektif dan signifikan. Interpretasi dan
keberanian memutuskan keunggulan karya juga sebuah proses yang terkadang
melibatkan kepekaan intuisi disamping logika, Proses itu merupakan sebuah keunikan tersendiri dan sulit untuk ditiru
karena penuh lika-liku.
Dalam aktivitas kritik
seni, penulis seringkali menemukan istilah subjek dan obyek yang ambigu dalam
hal relevansi acuan yang dimaksud. Subjek adalah pelaku sedangkan obyek adalah
benda atau seseorang yang dikenai oleh
pelaku dalam aktivitas tertentu. Penulis berpendapat sebagai berikut. Pertama, dalam konteks aktivitas penciptaan maka subjeknya adalah
seniman sedangkan obyekya model atau
benda yang ditiru, Kedua dalam aktivitas kritik seni maka subjeknya adalah kritikus dan obyeknya
adalah karya seni. Lebih lanjut,
dalam proses aktivitas kritik seni,
karya seni sebagai sebuah benda
yang akan dikritik dapat pula disebut subjek kritik. Tetapi bukan subjek
sebagai seorang pelaku akan tetapi
subjek sebagai sebuah benda yang akan dikritik.
Sebagai sebuah subjek yang akan dikritik, karya seni harus berwujud dapat diamati dan dapat diraba
untuk dapat dilakukan penilaian.
Perwujudannya berupa sebuah karya seni rupa dengan
berbagai corak, gaya, perkembanganan baik periode sejarah masa lampau maupun
masa sekarang. Kritik tidak bisa dilakukan jika
benda yang akan ditelaah tidak ada. Jika benda yang akan dikritik telah menjadi subjek kritik maka objek kritik
adalah nilai-nilai keindahan yang melekat pada subjek. Inilah intisari yang akan dicari melalui
kerja kritik. Objek kritik merupakan nilai atau value yang kehadiranya tidak
bisa diamati tetapi gejalanya dapat dirasakan melalui subjek yang kasat
mata. Objek kritik merupakan pokok persoalan yang akan dikupas ketika
sudah berhadapan dengan subjek kritik.
Sedangkan dalam
konteks karya, sudah jamak dinyatakan dan banyak para ahli yang mengatakan
bahwa wujud-wujud, rupa-rupa,
bentuk-bentuk yang representatif maupun non representatif dan tervisualkan atau tergambarkan pada
kertas atau kanvas lebih tepat
diidentifikasi dengan istilah subjek. Namun subjek ini agar tidak bias dalam
konteks aktivitas penciptaan, maka yang paling benar penyebutan istilah adalah
subyek karya. Subyek karya ini merupakan
bentuk yang terinderawi untuk diposisikan sebagai bentuk kasat mata dan dapat pula dilanjutkan untuk
diinterpretasi maknanya. Oleh karena itu, subyek karya tersebut dapat
diinterpretasi makna (sesuatu yang tidak kasat mata). Makna karya inilah yang
biasanya akan lebih tepat disebut obyek karya. Kesatuan subyek dan obyek karya
inilah yang dapat menghantar pembaca mengenal sebuah subject matter atau tema dalam sebuah seni lukis.
Paradigma, pendekatan, metode merupakan
strategi, cara yang digunakan untuk memahami subjek
Kritik agar objek kritik
menjadi lebih jelas secara lebih operasional. Sebelum menetapkan metode yang
akan digunakan sebaiknya ditetapkan dulu pendekatan dan paradigma atas subjek kritik
yang telah dipilih. Misalnya, menggunakan paradigma konstruktivisme,
strukturalisme, atau poststrukturalisme.
Agar menghasilkan bobot penilaian yang
baik, maka kritikus harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut: (1) memahami
sejarah seni rupa, kesenian dan kebudayaan, (2) harus berpengalaman mengamati
karya secara langsung (otentik) bukan dari repro atau slide, (3) mengetahui dan
memahami benar peristilahan (diksi), style seni, fungsi seni, opini seniman dan
pakar tentang estetika secara periodik, (4) mengetahui teknik artistik dalam berbagai
media, (5) memiliki cita rasa yang terbuka (memiliki kapasitas menghargai
kreativitas artistik yang beragam, (6) bisa membedakan niat artistik dan
pencapaian artistik seniman dalam
berkarya, (7) harus obyektif tidak subyektif (tidak “say hello” atau mampu melawan bias simpati terhadap seniman), (8)
memiliki sensibilitas kritis saat menghadapi karya yang beragam, (9) memiliki
temperamen judicial berdasarkan data yang akurat.
B.
Fenomenologi dan Hermeneutik dalam
Kritik Seni
Kritik seni bertujuan pokok memahami seni agar mendapatkan
kenikmatan estetik. Karya seni adalah berupa artefak atau hasil ciptaan manusia
yang di samping memiliki dimensi permukaan juga memiliki dimensi
substansi. Oleh karena itu fenomenologi
hadir di sana sebagai metode ungkap. Begitu pula hermeneutik sebagai metode interpretasi yang berupa siklus juga
digunakan agar diperoleh penjelasan yang lebih mendalam.
Dalam sejarah filsafat, fenomenologi
dan hermeneutik merupakan sebuah metode berfilsafati. Namun, dalam konteks
sekarang keberadaannya telah mampu didayagunakan sebagai metode atau cara dalam
memahami sesuatu secara lebih ilmiah. Berbagai pakar pemikir telah berusaha
menyempurnakan keberadaannya agar sahih menjadi metode untuk memahami dan
menafsirkan sehingga kebenaran akan sesuatu dapat terungkap.
Begitupula dalam kritik seni, kedua
metode tersebut dianggap memiliki sumbangan yang sangat penting dalam memahami
karya seni. Dalam konteks ini, karya seni yang wujudnya berupa sebuah karya
dapat diamati secara kasat mata adalah sebuah misteri penanda yang petanda atau
maknanya perlu dicarikan. Dan, makna tersebut haruslah yang logis, ilmiah, dan
bersesuaian dengan kenyataan yang ada.
Awalnya, fenomenologi adalah cara
berpikir filsafat untuk mengantisipasi
kelemahan model berpikir idealisme maupun realisme. Fenomenologi
adalah fondasi model pemahaman secara interpretatif terhadap sesuatu. Salah satu implikasinya
dalam kritik seni adalah suatu makna
objek estetik (karya seni) dibentuk
melalui hubungan yang bersifat dialektik antara subjek dan objeknya. Sehingga
dalam memahami sesuatu, suatu makna tidak melekat pada benda itu semata tetapi
makna juga melekat pada diri subjek. Ada sebuah integrasi antara pemahaman
objektif dan subjektif. Antara materialistik dan idealistik. Hal itu dilakukan salah satunya adalah untuk
memperoleh pemahaman yang kuat dan akurat.
Perkembangan fenomenologi sebagai
filsafat diteruskan oleh hermenutik
dalam rangka memahami dan menafsirkan karya seni. Hermeneutik merupakan
metode interpretasi yang berusaha menggunakan model siklus, yaitu, sejatinya
tidak ada penafsiran yang tunggal. Semua
penafsiran yang ada adalah berusaha untuk mendapatkan kebenaran makna
yang tiada akan berhenti. Semua akan berjalan terus seperti sebuah siklus.
Sebuah makna yang muncul akan bisa dimaknai ulang. Begitulah proses seterusnya.
C.
Kritik seni dan Penelitian Kualitatif
sebuah Tinjauan Komparatif
Melalui metode tersebut maka kerja kritik seni dapat
diibaratkan seperti sebuah kerja penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
suatu fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi,
pemikiran orang secara individu maupun kelompok. Begitu pula dalam kritik seni
sebenarnya terdapat langkah-langkah pengumpulan data, yaitu dilakukan dengan
cara pendeskripsian terhadap subjek kritik. Kemudian, dilakukan interpretasi
terhadap data. Hal yang sama juga berlaku pada kritik. Pengambilan kesimpulan
dalam penelitian adalah mencari jawaban terhadap masalah. Sedangkan dalam
kritik seni kesimpulan adalah menentukan kadar objektivitas estetik karya itu
sendiri.
Hal yang secara khusus memberikan
persamaan adalah pada tahap penafsiran, sebenarnya terdapat paradigma-paradigma
yang sama ketika digunakan baik pada
kritik maupun penelitian kualitatif. paradigma atau cara pandang dalam tataran
abstrak atau metode dalam tataran operasional tersebut adalah meliputi
formalisme, ikonografi, kontekstual, biografi, semiotika strukturalis,
semiotika postrukturalis, dan psikoanalisis. Paradigma-paradigma tersebutlah
yang sebenarnya ingin ditekankan dalam buku ajar ini. Namun karena konteks
paradigma tersebut sangat luas cakupannya, maka dalam hal ini nantinya
pembahasannya diambil secara singkat dan seefektif mungkin sehingga dapat aplikasikan pada karya seni rupa. Namun bagi
mahasiswa yang tidak puas bahkan dianjurkan untuk tidak puas disarankan untuk
membaca buku-buku yang khusus membahas tentang substansi tersebut.
Post a Comment